Kamis, 22 Maret 2012 by anak baru GEDE
Syariat Islam yang diperjelas dengan fikih sudah mengatur permasalahan
hukum yang cukup detail. Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat
Islam di dalam menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan
masalah hukum. Namun, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama
mengenai kepastian aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak
bisa diselesaikan dengan tuntas.
Munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkan sumber atau landasan
hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk
syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi
hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat
٩
setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undangundang
untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masing-masing. Hal
seperti ini juga terjadi di negara kita Indonesia.
Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa
hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum
Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara
normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Hukum Islam yang berlaku secara formal
yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut
dengan istilah mu’amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk
oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis
ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara
sempurna dengan cara misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu
unsur dalam sistem peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara
normatif adalah hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan.
Pelaksanaannya bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim
dalam berpegang kepada hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam
seperti ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya.
Hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
dalam arti ibadah murni (‘ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam
ini, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif ini
tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri.
Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah
Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No.
١٠
5 Tahun 1946, PP. No, 45Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang
No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Undang-undang
No. 7 Tahun 1989. Dengan undang-undang seperti ini diharapkan permasalahan yang
berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan
secara formal yuridis. Dari beberapa undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa
permasalahan hukum Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan
melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah
perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan.
Dalam perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami
berbagai persoalan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan
eksistensi Peradilan Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru
tahun 1989, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UUPA), eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi
harapan umat Islam Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan
kewenangannya.
Pengesahan UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia.
Dengan disahkannya UUPA tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama
sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air
kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara
di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif
di negara kita.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam
bidang muamalah (keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara
formal yuridis telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya
telah pula dimantapkan eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari sistem
١١
peradilan nasional, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam
memeiliki landasan hukum yang kuat.
Di negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau
didukung oleh tiga hal, yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan
hukum yang jelas, dan kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan
doktrin hukum nasional yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam (Bustanul
Arifin, 1996: 56).
Lembaga penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama,
terutama hakim-hakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki
ijazah kesarjanaan baik sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan
persyaratan seperti ini diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan
hukum yang jelas, belum dijamin keberadaannya secara total, karena peraturanperaturan
hukum Islam (fikih) masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat,
sehingga sangat sulit untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam. Oleh karena itu,
keperluan akan adanya suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal
yang sangat wajar. Di sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hukum
Islam menjadi jelas dan terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama
Indonesia kemudian membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab
hukum, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini
kemudian diresmikan berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 (Abdurrahman, 1992: 50).
١٢
Namun, harus diakui bahwa perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan.
Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan
kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok
dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung
dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin
banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak
adanya penanganan yang jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi
terhadap tindakan kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah
pidana ini masih berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di
Pengadilan Negeri masih aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang
kurang sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini
ditetapkan di Indonesia sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan
melibatkan Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan
dan wewenang Peradilan Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi
hukum Islam juga semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia.
Karena kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam
di negara kita, yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu
adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran
hukum ini, akan sulit bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai
institusi penegak keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung
jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Dalam rangka inilah
pembinaan organisasi, administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama
haruslah diusahakan dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini
١٣
benar-benar mantap nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh
Departemen Agama sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di
Indonesia.
Senin, 19 Maret 2012 by anak baru GEDE
Banding adalah sebuah upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa supaya putusan yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi, karena belum puas dengan keputusan tingkat pertama, sedangkan lembaga banding adalah institusi yang berwenang mengurusi masalah tersebut.
Berdasarkan prinsip adanya berperkara pada tingkat dua atau banding, maka perkara yang telah mendapatkan putusan hukum dari pengadilan tingkat pertama dapat diajukan pada pengadilan lain yang lebih tinggi (naik banding) untuk mendapatkan hukum yang baru.
Pengadilan tingkat kedua ini mempunyai kebebasan untuk menguatkan keputusan hukum pada pengadilan tingkat pertama, mengganti, atau membatalkannya. Dasar semacam ini telah dikenal luas dalam semua tata perundang-undangan positif karena adanya manfaat penting yang didapatkan.
Salah satu manfaat yang diperoleh dengan adanya pengadilan tingkat kedua ini adalah dapat mendorong hakim untuk berhati-hati dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam meneliti kasus yang ditanganinya karena dia mengetahui bahwa keputusan hukumnya dapat ditampakkan atau diajukan lagi pada lain kesempatan. Hal ini mendorong hakim untuk berijtihad dan meneliti secara mendetail agar keputusan hukumnya tidak diganti atau dibatalkan, seperti munculnya upaya banding dikarenakan adanya kesalahan hakim pengadilan tingkat pertama atau mengajukan kasus yang tidak tepat.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer merupakan pengadilan tingkat pertama sedangkan Pengadilan Tinggi Negeri, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Dengan demikian upaya banding terhadap suatu perkara harus sesuai dengan wilayah kompetensinya, sebagai contoh perkara di PA hanya dapat diajukan ke PTA, bukan ke PTN atau pengadilan yang lainnya.

Total Tayangan Halaman