Selasa, 24 April 2012 by anak baru GEDE
Advertise with my Blog

mau tau artinya apa???????
klik banner paling bawah yaah
pasti anda akan mendapatkan dolar hanya memliki blog saja
tidak percaya silahkan klik banner yang paling bawah yaaah
Register on a site and add your blog
Activate your blog. Activation consists in checking of the blog by a moderator. For this purpose you should place the invisible counter in one of the blog posts. The code of the counter will be given to you after registration
After acknowledgment that your blog is accepted, look at the list of offers accessible to bloggers, who have at least one activated blog, and choose what most appeals to you and your goals.
Send the invitation to the advertisers (located underneath the offer) and specify the price you are setting for the review.
Advertisers will then accept or reject the invitation - or may reply with a counteroffer. Some invitations remain open for a long time, therefore it is better to submit several invitations at once.
After your invitation has been approved by the advertiser, attentively study its requirements and write a post in the blog taking these requirements into account. Send to the advertiser the reference to the post.
The advertiser will check your work and if everything suits him or her, money will arrive into your account. However, he or she finds any defects, they may ask you to correct them. Advertisers have the right to refuse payment to those who fabricated knowledge about the subject in the invitation or those who didn't research the subject enough to write a proper review with proper grammar and spelling. Should a dispute arise, the definitive decision is determined by the Site Administrator. The basic document for decision-making are requirements of the Advertiser to a review and conformity of a review to these requirements.
We pass to point 3 and so on, during your pleasure

blog advertising

Blog advertising
by anak baru GEDE
Bismillah ar-Rahman ar-Rahim,
Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk ikut berpartisipasi dalam seminar tentang Hukum Islam di Asia Tenggara yang diselenggarakan mulai hari ini. Saya tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah ahli di bidang Hukum Islam, mengingat fokus kajian akademis saya adalah hukum tatanegara. Namun mengingat topik seminar ini adalah transformasi syariat Islam ke dalam hukum nasional, maka titik singgungnya dengan hukum tata negara, sejarah hukum, sosiologi hukum dan filsafat hukum kiranya jelas keterkaitannya. Bidang-bidang terakhir ini juga menjadi minat kajian akademis saya selama ini. Sebab itulah, saya memberanikan diri untuk ikut berpartisipasi dalam seminar ini, dengan harapan, sayapun akan dapat belajar dari para pemakalah yang lain dan para peserta seminar ini. Saya bukan pura-pura tawaddhu’, karena saya yakin sayapun dapat berguru menimba ilmu dengan mereka.
Akar Historis dan Sosiologis Hukum Islam
Sepanjang telaah tentang sejarah hukum di Indonesia, maka nampak jelas kepada saya, bahwa sejak berabad-abad yang lalu, hukum Islam itu telah menjadi hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat Islam di negeri ini. Betapa hidupnya hukum Islam itu, dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang disampaikan masyarakat melalui majalah dan koran, untuk dijawab oleh seorang ulama atau mereka yang mengerti tentang hukum Islam. Ada ulama yang menerbitkan buku soal jawab, yang isinya adalah pertanyaan dan jawaban mengenai hukum Islam yang membahas berbagai masalah. Organisasi-organisasi Islam juga menerbitkan buku-buku himpunan fatwa, yang berisi bahasan mengenai soal-soal hukum Islam. Kaum Nahdhiyin mempunyai Al-Ahkamul Fuqoha, dan kaum Muhammadiyin mempunyai Himpunan Putusan Tarjih. Buku Ustadz Hassan dari Persis, Soal Jawab, dibaca orang sampai ke negara-negara tetangga.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Qur’an dan al-Hadith. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, di mana saja di dunia ini, umat Islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung kepada kompisi besar-kecilnya komunitas umat Islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari pranata sosial dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Jika kita melihat kepada perjalanan sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau, upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan. Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di Yogyakarta, Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam— setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata — sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.
Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.
Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian.Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.
Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu. Saya masih menyimpan buku antik Compendium Freijer itu yang ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan ituterjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.
Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Professor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka. Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.
Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat. Namun kita harus mengakui pembangunan hukum di bidang hukum pidana dan perdata, termasuk hukum ekonomi berjalan sangat lamban. Baru di era Pemerintahan Orde Baru, kita menyaksikan proses pembangunan norma-norma hukum di bidang iniberjalan relatif cepat untuk mendukung pembangunan ekonomi kita.
Keadaan ini berjalan lebih cepat lagi, ketika kita memasuki era Reformasi. Ketika UUD 1945 telah diamandeman, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional, apalagi ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi. Namun Wetboek van Sraftrechts atau KUH Pidana masih tetap berlaku. Tetapi berbagai norma hukum baru yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus telah dilahirkan, sejalan dengan pertumbuhan lembaga-lembaga penegakan hukum, dan upaya untuk memberantas berbagai jenis kejahatan. Kita misalnya memiliki UU Pemberantasan Tindak Pidana Narkotika, Terorisme dan sebagainya.
Kebijakan Pembangunan Hukum
Setelah kita merdeka, kita telah memiliki undang-undang dasar, yang kini, oleh Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2004, diletakkan dalam hirarki tertinggiperaturan perundang-undangan kita. Setelah MPR tidak lagi berwenang mengeluarkan ketetapan, maka semua undang-undang harus mengacu langsung kepada undang-undang dasar.Mahkamah Konstitusi berwenang untuk melakukan uji materil terhadap undang-undang dasar. Kalau mahkamah berpendapat bahwa materi pengaturan di dalam undang-undang bertentangan dengan pasal-pasal tertentu di dalam undang-undang dasar, maka undang-undang itu dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku, baik sebagian maupun seluruhnya.
Dilihat dari sudut teori ilmu hukum, undang-undang dasar adalah sumber hukum. Artinya undang-undang dasar itu adalah sumber dalam kita menggali hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif, dalam hal ini undang-undang. Sudah barangtentu undang-undang dasar semata, tidaklah selalu dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam merumuskan norma hukukm positif, mengingat sifat terbatas dari pengaturan di dalam undang-undang dasar itu sendiri. Undang-undang dasar adalah hukum dasar yang tertulis, yang pada umumnya memuat aturan-aturan dasar dalam penyelenggaran negara, kehidupan sosial dan ekonomi, termasuk jaminan hak-hak asasi manusia dan hak asasi warganegara. Di samping undang-undang dasar terdapat hukum dasar yang tidak tertulis, yakni berbagai konvensi yang tumbuh dan terpelihara di dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif di bidang hukum tatanegara dan administrasi negara khususnya, bukan hanya hukum dasar yang tertulis yang dijadikan rujukan, tetapi juga hukum dasar yang tidak tertulis itu.
Dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum positif lainnya, para perumus kaidah-kaidah hukum positif harus pula merujuk pada faktor-faktor filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, kesadaran hukum masyarakat, dan kaidah-kaidah hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Sebab itulah, dalam merumuskan kaidah hukum postif,kita tidak boleh bertindak sembarangan, oleh karena jika kaidah-kaidah yang kita rumuskan itu bertentangan dengan apa yang saya sebutkan ini, maka kaidah hukum yang kita rumuskan itu sukar untuk dilaksanakan di dalam praktik. Unsur-unsur filosofis bernegara kita, jiwa dan semangat bangsa kita, komposisi kemajemukan bangsa kita, dapat kita simak di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Tentu kita dapat menguraikan dan menafsirkan rumusan-rumusan itu dari sudut filsafat hukum, walau tentu di kalangan para ahli akan terdapat perbedaan-perbedaan penekanan dan pandangan.
Syariat, Fikih dan Qanun
Dari uraian-uraian di atas, timbullan pertanyaan, di manakah letak atau posisi hukum Islam yang saya maksudkan, dalam hukum nasional kita? Sebelum menguraikan lebihlanjut jawaban atas pertanyaan ini, saya harus menguraikan lebih dulu, apakah yang dimaksud dengan “hukum Islam” itu dalam perspektif teoritis ilmu hukum.Kalau kita membicarakan hukum Islam,kita harus membedakannya antara syariat Islam, fikih Islam dan qanun. Mengenai syariat Islam itu sendiri, ada perbedaan pandangan di kalangan para ahli. Ibnu Taymiyyah misalnya berpendapat bahwa keseluruhan ajaran Islam yang dijumpai di dalam al-Qur’an dan al-Hadith itu adalah syariat Islam. Namun untuk kepentingan studi ilmu hukum pengertian yang sangat luas seperti diberikan Ibnu Taymiyyah itu tidak banyak membantu.
Ada baiknya jika kita membatasi syariat Islam itu hanya kepada ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith yang secara ekspilisit mengandung kaidah hukum di dalamnya. Kita juga harus membedakannya dengan kaidah-kaidah moral sebagai norma-norma fundamental, dan kaidah-kaidah yang berhubungan dengan sopan santun. Dengan pembatasan seperti ini, maka dengan merujuk kepada pendapat Abdul Wahhab al-Khallaf, maka kaidah-kaidah hukum dalam syariah itu — baik di bidang peribadatan maupun di bidang mu’amalah — tidaklah banyak jumlahnya. Al-Khallaf menyebutkan ada 228 ayat al-Qur’an yang dapat dikategorikan mengandung kaidah-kaidah hukum di bidang mu’amalah tadi, atau sekitar 3 persen dari keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an.Rumusan kaidah-kaidah hukum di dalam ayat-ayat itu pada umumnya masih bersifat umum. Dengan demikian, belum dapat dipraktikkan secara langsung, apalagi harus dianggap sebagai kaidah hukum positif yang harus dijalankan di sebuah negara. Bidang hukum yang diatur secara rinci di dalam ayat-ayat hukum sesungguhnya hanya terbatas di bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Bidang-bidang hukum yang lain seperti hukum ekonomi, pidana, diberikan asas-asasnya saja. Khsus dibidang pidana, ada dirmuskan berbagai delik kejahatan dan jenis-jenis sanksinya, yang dikategorikan sebagai hudud dan ta’zir. Kalau kita menelaah hadith-hadith Rasulullah, secara umum kitapun dapat mengatakan bahwa hadith-hadith hukum jumlahnya juga tidak terlalu banyak. Dalam sejarah perkembangannya, ayat-ayat al-Qur’an dan hadith-hadith syar’ah telah mengalami pembahasan dan perumusan yang luar biasa. Pembahasan itulah yang melahirkan fikih Islam. Saya kira fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para sahabat dan para ulama di kemudian hari, sejauh menyangkut masalah hukum, dapat pula dikategorikan ke dalam fikih Islam. Sepanjang sejarahnya pula, norma-norma syar’ah telah diangkat menjadi kaidah hukum positif di kekhalifahan, kesultanan atau kerajaan Islam di masa lalu. Dari sinilah lahir kodifikasi hukum Islam, yang dikenal dengan istilah Qanun itu.
Pembahasan dalam fikih Islam telah melahirkan karya-karya ilmiah di bidang hukum yang amat luar biasa. Para ahli hukum Islam juga membahas filsafat hukum untuk memahami pesan-pesan tersirat al-Qur’an dan hadith, maupun di dalam merumuskan asas-asas dan tujuan dirumuskannnya suatu kaidah. Fikih Islam telah melahirkan aliran-aliran atau mazhab-mazhab hukum, yang mencerminkan landasan berpikir, perkembangan sosial masyarakat di suatu zaman, dan kondisi politik yang sedang berlaku. Fikih Islam juga mengadopsi adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah. Para fuqaha kadang-kadang juga mengadopsi hukum Romawi. Menelaah fikih Islam dengan seksama akan mengantarkan kita kepada kesimpulan, betapa dinamisnya para ilmuwan hukum Islam dalam menghadapi perkembangan zaman. Walau, tentunya ada zaman keemasan, ada pula zaman kemunduran.
Patut kita sadari Islam masuk ke wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada umumnya, dan kemudian membentuk masyarakat poltis pada penghujung abad ke 13, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Timur Tengah dan Eropa telah mengalami kemunduran. Ulama-ulama kita di zaman itu nampaknya belum dibekali kemampuan intelektual yang canggih untuk membahas fikih Islam dalam konetks masyarakat Asia Tenggara, sehingga kitab-kitab fikih yang ditulis pada umumnya adalah ringkasan dari kitab-kitab fikih di zaman keemasan Islam, dan ketika mazhab-mazhab hukum telah terbentuk. Namun demikian, upaya intelektual merumuskan Qanun tetap berjalan. Di Melaka, misalnya mereka menyusun Qanun Laut Kesultanan Melaka. Isinya menurut hemat saya, sangatlah canggih untuk ukuran zamannya, mengingat Melaka adalah negara yang bertanggungjawab atas keamanan selat yang sangat strategis itu. Qanun Laut Kesultanan Melaka itu mengilhami qanun-qanun serupa di kerajaan-kerajaan Islam Nusantara yang lain, seperti di Kesultanan Bima.
Keberlakuan Hukum Islam
Dengan uaraian-uraian di atas itu, saya ingin mengatakan bahwa hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Setahun yang lalu, Pemerintah telah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islamke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.
Syariat sebagai Sumber Hukum
Suatu hal yang agak “krusial” sehubungan dengan syariat Islamdalam kaitannya dengan hukum positif ialah kaidah-kaidahnya di bidang hukum pidana dan hukum publik lainnya. Kaidah-kaidah hukum pidana di dalam sayariat itu dapat dibedakan ke dalam hudud dan ta’zir. Hudud adalah kaidah pidana yang secara jelas menunjukkan perbuatan hukumnya (delik) dan sekaligus sanksinya. Sementara ta’zir hanya merumuskan delik, tetapi tidak secara tegas merumuskan sanksinya. Kalau kita membicarakan kaidah-kaidah di bidang hukum pidana ini, banyak sekali kesalahpahamannya, karena orang cenderung untuk melihat kepada sanksinya, dan bukan kepada perumusan deliknya. Sanksi-sanksi itu antara lain hukuman mati, ganti rugi dan maaf dalam kasus pembunuhan, rajam untuk perzinahan, hukum buang negeri untuk pemberontakan bersenjata terhadap kekuasaan yang sah dan seterusnya. Kalau kita melihat kepada perumusan deliknya, maka delik hudud pada umumnya mengandung kesamaan dengan keluarga hukum yang lain, seperti Hukum Eropa Kontinental dan Hukum Anglo Saxon. Dari sudut sanksi memang ada perbedaannya.
Sudah barangtentu kaidah-kaidah syariat di bidang hukum pidana, hanya mengatur prinsip-prinsip umum, dan masih memerlukan pembahasan di dalam fikih, apalagi jika ingin transformasi ke dalam kaidah hukum positif sebagai hukum materil. Delik pembunuhan misalnya, bukanlah delik yang sederhana. Ada berbagai jenis pembunuhan, antara lain pembunuhan berencana, pembunuhan salah sasaran,pembunuhan karena kelalaian,pembunuhan sebagai reaksi atas suatu serangan, dan sebagainya. Contoh-contoh ini hanya ingin menunjukkan bahwa ayat-ayat hukum yang mengandung kaidah pidana di dalam syariat belum dapat dilaksanakan secara langsung, tanpa suatu telaah mendalam untuk melaksanakannya.
Problema lain yang juga dapat mengemuka ialah jenis-jenis pemidanaan (sanksi) di dalam pidana hudud. Pidana penjara jelas tidak dikenal di dalam hudud, walaupun kisah tentang penjara disebutkan dalam riwayat Nabi Yusuf. Pidana mati dapat diterima oleh masyarakat kita, walau akhir-akhir ini ada yang memperdebatkannya. Namun pidana rajam, sebagian besar masyarakat belum menerimanya, kendatipun secara tegas disebutkan di dalam hudud. Memang menjadi bahan perdebatan akademis dalam sejarah hukum Islam, apakah jenis-jenis pemidanaan itu harus diikuti huruf demi huruf, ataukah harus mempertimbangkan hukuman yang sesuai dengan penerimaan masyarakat di suatu tempat dan suatu zaman. Kelompok literalis dalam masyarakat Muslim, tentu mengatakan tidak ada kompromi dalam melaksanakan nash syar’iat yang tegas. Sementara kelompok moderat, melihatnya paling tinggi sebagai bentuk ancaman hukuman maksimal (ultimum remidium), yang tidak selalu harus dijalankan di dalam praktik. Masing-masing kelompok tentu mempunyai argumentasi masing-masing, yang tidak akan diuraikan dalam makalah ini.
Pada waktu tim yang dibentuk oleh Menteri Kehakiman, sejak era Ismail Saleh, diberi tugas untuk merumuskan draf Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional, tim perumus nampaknya telah menjadikan hukum yang hidup di dalam masyarakat, sebagai sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum pidana yang bersifat nasional. Karena itu, tidak mengherankan jika ada delik pidana adat — seperti orang yang secara terbuka menyatakan dirinya memiliki kemampuan melakukan santet untuk membunuh orang lain — yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHP warisan Belanda, dimasukkan ke dalam draf KUHP Nasional. Demikian pula rumusan pidana perzinahan, nampaknya mengambil rumusan hukum Islam, walaupun tidak dalam pemidanaannya. Dalam draf KUHP Nasional, perzinahan diartikan sebagai hubungan seksual di luar nikah.
Sementara KUHP warisan Belanda jelas sekali perumusannya dipengaruhi oleh hukum Kanonik Gereja Katolik, yang merumuskan perzinahan sebagai hubungan seksual di luar nikah, tetapi dilakukan oleh pasangan, yang salah satu atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Dengan demikian, menurut KUHP warisan Belanda, hubungan seksual di luar nikah antara dua orang yang tidak terikat perkawinan— misalnya pasangan kumpul kebo — bukanlahlah perzinahan. Perumusan perzinahan dalam KUHP Belanda ini nampak tidak sejalan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Mereka mengambil rumusan perzinahan dari hukum Islam, tetapi pemidanaanya mengambil jenis pemidaan dari eks hukum Belanda, yakni pidana penjara.
Dari uraian saya yang panjang lebar di atas, terlihat dengan jelas bahwa syari’at Islam, hukum Islam maupun fikih Islam, adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk yang majemuk, maka dalam hal hukum keluarga dan kewarisan, maka hukum Islam itu tetaplah dinyatakan sebagai hukum yang berlaku. Sebagaimana juga halnya, jika ada pemeluk agama lain yang mempunyai hukum sendiri di bidang itu, biarkanlah hukum agama mereka itu yang berlaku. Terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata lainnya, seperti hukum perbankan dan asuransi, negara dapat pula mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam di bidang itu dan menjadikannya sebagai bagian dari hukum nasional kita. Sementara dalam hal hukum publik, yang syariat Islam itu sendiri hanya memberikan aturan-aturan pokok, atau asas-asasnya saja, maka biarkanlah ia menjadi sumber hukum dalam merumuskan kaidah-kaidah hukum nasional.
Di negara kita, bukan saja hukum Islam – dalam pengertian syariat – yang dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi juga hukum adat, hukum eks kolonial Belanda yang sejalan dengan asas keadilan dan sudah diterima masyarakat, tetapi kita juga menjadikan berbagai konvensi internasional sebagai sumber dalam merumuskan kaidah hukum positif kita. Ketika hukum poistif itu telah disahkan, maka yang berlaku itu adalah hukum nasional kita, tanpa menyebut lagi sumber hukumnya. Ada beberapa pihak yang mengatakan kalau hukum Islam dijadikan sebagai bagian dari hukum nasional, dan syariat dijadikan sumber hukum dalam perumusan kaidah hukum positif, maka Indonesia, katanya akan menjadi negara Islam. Saya katakan pada mereka, selama ini hukum Belanda dijadikan sebagai hukum positif dan juga dijadikan sebagai sumber hukum, tetapi saya belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa negara kita ini akan menjadi negara Belanda. UU Pokok Agraria, terang-terangan menyebutkan bahwa UU itu dirumuskan berdasarkan kaidah-kaidah hukum adat, tetapi sampai sekarang saya juga belum pernah mendengar orang mengatakan bahwa Indonesia sudah menjadi negara Adat.
Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konsititusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu. Sekali lagi saya ingin mengatakan bahwa mengingat hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.
Demikianlah uraian saya. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua. Akhirnya hanya kepada Allah jua, saya mengembalikan segala persoalan.
Wallahu’alam bissawwab.
Senin, 23 April 2012 by anak baru GEDE
Ismail Sunny, mengilustrasikan politik hukum sebagai suatu proses penerimaan hukum Islam digambarkan kedudukannva menjadi dua periode yakni pertama, periode persuasive source di mana setiap orang Islam diyakini mau menerima keberlakuan hukum Islam itu; dan kedua, periode authority source di mana setiap orang Islam menyakini bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang haruss dilaksanakan. Dengan kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila dikodifikasikan dalam perundangundangan nasional.4 Untuk mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada kebijakan politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek). Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin besar.
Politik hukum masa Orde Baru seperti termaktub dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sejak 1973, 1978, 1983, 1988 dan 1993. Kurun waktu 1973- 1988 pengembangan hukum nasional diarahkan bagi kodifikasi dan unifikasi hukum sesuai kepentingan masyarakat. Bentuk hukum tertulis tertentu dikodifikasikan dan diunifikasikan, terutama hukum yang bersifat ‚netral‛ yang berfungsi bagi rekayasa sosial. Demikian halnya bagi orang Islam, unifikasi hukum Islam memperoleh pengakuan dalam sistem hukum nasional.5
4 Isma’il Sunny, Tradisi dan Inovasi Keislamart di IndonesIa dalam Bidang Hukum Islam, dikutip dan Bunga Rampai Peradilan Islam di Indonesia, Jilid I (Bandung: Ulul Albab Press, 997), hlm. 40-43.
5 Teuku Mohammad Radhie, ‚Politik dan Pembaharuan Hukum‛, dalam Prisma No. 6 tahun II (Jakarta: LP3ES, 1973), hlm. 4; M. Yahya Harahap, ‘Informasi Materi Kompilasi
Transformasi hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan (Takhrij al-Ahkâm fî al-Nash al-Qânun) merupakan produk interaksi antar elite politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan muslim) dengan elite kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan pejabat negara. Sebagai contoh, diundangkannya UU Perkawinan No.1/1974 peranan elite Islam cukup dominan di dalam melakukan pendekatan dengan kalangan elite di tingkat legislatif, sehingga RUU Perkawinan No.1/1974 dapat dikodifikasikan.6 Adapun prosedur pengambilan keputusan politik di tingkat legislatif dan eksekutif dalam hal legislasi hukum Islam (legal drafting) hendaknva mengacu kepada politik hukum yang dianut oleh badan kekuasaan negara secara kolektif. Suatu undang-undang dapat ditetapkan sebagai peraturan tertulis yang dikodifikasikan apabila telah melalui proses politik pada badan kekuasaan negara yaitu legislatif dan eksekutif, serta memenuhi persyaratan dan rancangan perundang-undangan yang layak.
Pendekatan konsepsinal prosedur legislasi hukum Islam sebagaimana dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi adalah bahwa pemerintah dan DPR memegang kekuasaan di dalam pembentukan undang-undang. Disebutkan dalam pasal 5 ayat (1) UUD 1945 bahwa ‚Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.‛ Sedangkan dalam penjelasan mengenai pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dinyatakan bahwa ‚kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislatif power dalam negara.‛7
Berdasarkan pandangan tersebut, maka DPR hendaknya memberi persetujuan kepada tiap-tiap Rancangan Undang-undang yang diajukan oleh Pemerintah. Hal ini senada dengan penjelasan pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kendati DPR tidak harus selalu meyatakan setuju terhadap semua rancangan Undang-undang dari pemerintah. Keberadaan DPR sesungguhnya harus
Hukum Islam: Memposisikan Abetraksi Hukum Islam‛ dalam Mimbar Hukum, No. 5 Tahun II, Jakarta: Al-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1992), him. 17-2 1. 6 Amak F.Z., Proses Undang-undang Perkawinan, (Bandung: Al-Ma’arif. 1976). hIm. 35-48 7 A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemenntah Negara: Suatu Anaiisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waku Pelita 1-Pelita IV”, Disertasi Doktor Universitas donesia (Jakarta: UI, 1990), him. 120-135.
memberikan suatu consent atau kesepakatan dalam arti menerima atau menolak rancangan undang-undang.
Minggu, 22 April 2012 by anak baru GEDE
Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lembaga
penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli
agama), telah lama ada dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam masuk
ke Indonesia. Lembaga tahkim ini berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat Muslim di kepulauan nusantara. Keberadaan Peradilan Agama baru diakui
secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882, yaitu ketika diresmikannya
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 (Amrullah
Ahmad, 1996: 4).
Dengan keberadaan lembaga semisal Peradilan Agama tersebut pemerintah
Belanda merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah diberlakukan oleh umat Islam
di Indonesia. Karena itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalangi
berlakunya hukum Islam lebih luas lagi. Atas nasehat C. Snouck Hurgronje
pemerintah Belanda memberlakukan teori receptie yang memberlakukan hukum
Islam apabila sudah diterima oleh hukum adat (Mohammad Daud Ali, 1996: 218).
Teori receptie ini diberlakukan dalam rangka menentang berlakunya teori receptio in
complexu yang dikemukakan oleh LWC van den Berg yang mengakui berlakunya
hukum Islam di Indonesia sejak umat Islam ada di situ.
Dengan diberlakukannya teori receptie pemerintah Belanda mulai mengganti
undang-undang yang diberlakukan di Indonesia. Tahun 1919, misalnya, pemerintah
Belanda mengganti undang-undang dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische
Staatsregeling (IS). Tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi
wewenang Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah
waris diserahkan kepada Pengadilan Umum (Sjadzali, 1991: 46).
Perubahan tatanan peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama, mulai
berubah setelah Indonesia merdeka. Perubahan ini bertitik tolak pada ketentuan
konstitusi di samping memperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat
secara luas. Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah padal 24 dan 25
UUD 1945. Sedangkan perkembangan aspirasi masyarakat tercermin dalam artikulasi
politik dari berbagai kekuatan politik melalui infra struktur dan supra struktur politik
dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembinaan Peradilan Agama yang semula berada di tangan Kementrian
Kehakiman diserahkan kepada Departemen Agama melalui PP No. 5/SD/1946. Tahun
1948 keluar Undang-undang No. 19 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan
Umum (Peradilan Negeri). Namun, undang-undang ini tidak pernah berlaku, karena
tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Tahun 1951 pemerintah
memberlakukan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang tetap
mempertahankan eksistensi Peradilan Agama dan menghapus Peradilan Swapraja dan
Peradilan Adat. Sebagai kelanjutannya pemerintah memberlakukan Undang-undang
No, 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan
Kalimantan Selatan. Selanjutnya tahun 1964 keluar Undang-undang No. 19 tentang
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tahun 1979 Undang-undang No. 19/1964 tersebut
diganti dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mengakui eksistensi Peradilan
Agama sejajar dengan ketiga lembaga peradilan lainnya di Indonesia.
Wewenang Peradilan Agama
Tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan
berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
٥
Peradilan Agama. Undang-undang ini merupakan salah satu peraturan perundangundangan
untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya
mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang
Dasar 1945. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini berangkai dengan
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undnag-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 bab yang meliputi 108
pasal. Ketujuh bab tersebut berisi Ketentuan Umum (Bab I), Susunan Pengadilan
(Bab II), Kekuasaan Pengadilan (Bab III), Hukum Acara (Bab IV), Ketentuanketentuan
Lain (Bab V), Ketentuan Peralihan (Bab VI), dan Ketentuan Penutup (Bab
VII). Undang-undang ini, sebagai pengganti undang-undang sebelumnya, memuat
beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di Indonesia,
Perubahan-perubahan tersebut di antaranya berkenaan dengan (1) dasar hukum
penyelenggaraan peradilan; (2) kedudukan badan Peradilan; (3) susunan pengadilan;
(4) kedudukan, pengangkatan, dan pemberhentian hakim; (5) kekuasaan pengadilan;
(6) hukum acara peradilan; (7) penyelenggaraan administrasi peradilan; dan (8)
perlindungan terhadap wanita (Cik Hasan Bisri, 1997: 126).
Wewenang Pengadilan Agama ditegaskan dalam pasal 49 ayat (1) Undangundang
Nomor 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah”. Dengan
demikian, jelaslah bahwa wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus,
٦
dan menyelesaikan permasalahan kaum Muslim dalam bidang-bidang tertentu, yakni
bidang perkawinan dan berbagai hal yang terkait dengannya, bidang kewarisan dan
berbagai hal yang terkait dengannya, serta bidang perwakafan dan berbagai hal yang
terkait dengannya. Ketiga bidang tersebut diperjelas dengan keluarnya Instruksi
Presiden tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terdiri dari
tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku
III tentang Perwakafan.. Menurut ketentuan pasal 49 juga dijelaskan bahwa
wewenang Pengadilan Agama hanya mengadili perkara-perkara tersebut di tingkat
pertama. Adapun pada tingkat banding (yang lebih tinggi) yang menanganinya adalah
Pengadilan Tinggi Agama (pasal 51).
Dalam sejarahnya, wewenang Pengadilan Agama ini tidak begitu saja langsung
menangani perkara-perakara seperti di atas, akan tetapi melalui proses yang cukup
panjang, yaitu mulai tahun 1882 sejak masih berbentuk Priesterrad (Majelis atau
Pengadilan Pendeta) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perkaraperkara
yang ditangani ditentukan oleh Pengadilan Agama sendiri, yaitu perkaraperkara
yang berkaitan dengan perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan
wakaf (Sajuti Thalib, 1980: 25). Jadi, wewenang Pengadilan Agama sudah meliputi
ketiga perkara yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang.
Pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas
meninjau kembali kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama. Komisi yang pada
hakekatnya dikuasai penuh oleh Betrand ter Haar ini berhasil melaksanakan tugasnya
dan memberi rekomendasi kepada gubernur jenderal Hindia Belanda untuk meninjau
kembali wewenang Pengadilan Agama. Tujuan Pokok dari saran komisi tersebut
adalah menyangkut wewenang Pengadilan Agama, yakni pencabutan wewenang
Pengadilan Agama untuk mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan.
٧
Pencabutan ini, menurut para pemimpin Islam, merupakan langkah mundur ke zaman
Jahiliyah dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam (Mohammad Daud
Ali, 1989: 223).
Pada tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116. Dengan Stbl. ini wewenang
Pengadilan Agama untuk mengadili masalah kewarisan dialihkan kepada Pengadilan
Negeri. Dengan demikian, wewenang Pengadilan Agama hanya mengurusi masalah
perkawinan. Sementara itu di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan
Kerapatan Qadli Besar dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya persis
seperti Pengadilan Negeri.
Setelah Indonesia merdeka, langkah yang diambil pemerintah Indonesia ialah
menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman kepada
Departemen Agama melalui PP. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar Undang-undang No.
190 yang memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum, meskipun hal ini
tidak pernah berjalan. Tahun 1957 pemerintah mengatur pemberntukan Peradilan
Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan melalui PP. No. 45 Tahun 1957.
Wewenang Peradilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan meliputi
perkara-perkara (1) nikah, (2) talak, (3) rujuk, (4) fasakh, (5) nafkah, (6) mas kawin,
(7) tempat kediaman, (8) mut’ah, (9) hadlanah, (10) perkara waris, (11) wakaf, (12)
hibah, (13) sedekah, dan (14) baitulmal (Amrullah ahmad, 1996: 6).
Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1958 pemerintah membentuk
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di berbagai tempat yang
memerlukan. Tahun 1964 pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun
1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang disusul keluarnya Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan undang-undang ini kedudukan Peradilan Agama setingkat dengan
٨
peradilan-peradilan lainnya. Pada akhirnya, dengan keluarnya Undang-undang No. 7
Tahun 1989 Peradilan Agama benar-benar memiliki legitimasi yang kuat dan benarbenar
sama dan setingkat dengan tiga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup
peradilan di Indonesia.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa wewenang Peradilan Agama baru
terbatas pada perkara-perkara perdata dan hanya menyangkut perkara-perkara umat
Islam. Jadi, Peradilan Agama belum menjangkau perkara-perkara lain di luar perdata,
seperti pidana, dan juga belum melibatkan penganut selain Islam dalam berperkara.
Sabtu, 21 April 2012 by anak baru GEDE
Dalam berperkara didepan pengadilan baik itu pengadilan agama atau pengadilan umum pastilah tidak semua orang puas akan keputusan yang telah ditetapkan oleh hakim sang penegak hukum. Terkadang ada yang merasa dirugikan dengan keputusan-keputusan yang diputuskan oleh hakim terhadap siberperkara, namun ada pula yang merasa puas terhadap keputusan hakim yang di putuskan. Kemungkinan ketidak puasan dan juga adanya merasa dirugikan haknya sangat mungkin sekali, karena hakim adalah manusia yang sama dengan orang berperkara yang mempunyai kekhilafan dan juga mempunyai ketidak sempurnaan. oleh karena itu perlunya dilakukan Banding di pengadilan yang lebih tinggi dari pada pengadilan tingkat pertama.
A. Pengertian Banding.
Banding adalah permohonan yang diajukan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam perkara, agar ketetapan atau putusan yang dijatukan pengadilan agama diperiksa ulang dalam tingkat Banding oleh Peradilan tinggi agama, karena belum puas dengan pengadilan tingkat pertama .
B. Kajian Historis dan Hadist.
Dalam sejarah peradialan islam memang tidak pernah kita ketemui istilah Peradilan tingkat pertama dan Mahkama Agung sebagai puncak Peradilan agama. Sehingga kita juga tidak pernah mendengar istilah Banding dan Kasasi dalam Perdilan islam kuno. Hal ini selaras dengan kutipan Asadullah Al-faruq terhadap pendapat Abdul Qodim Zallum yang mengtakan “hukum acara perdata islam tidak mengenal Mahkama Banding tingkat pertama dan tingkat kedua karena seluruhnya berbentuk pengadilan dan memutuskan perselisihan mempunyai kedudukan yang sama. Apabila seorang qodhi memutuskan perkara maka putusanya sah atau berlaku dan tidak bisa dibatalkan oleh qodhi lain kecuali keputusan tersebut bertentangan dengan nash yang qath’i (dasar yang jelas) dari kitabullah, sunah rasul, ijma’ sahabat. Namun melihat perkembangan sitem kenegaraan yang semakin bervarian. Negara-Negara seperti Indonesia menggunakan Peradilan Agama sebagai tingkat pertama untuk menangani Masalah diPeradilan agama sereprti Perkawinan, Wakaf, Mawaris, Zakat dan Mahkam Agung berkedudukan sebagai Peradilan tingkat tinggi. Olehnya Negara seperti Indonesia ini mengenal istilah Banding dan Kasasi dalam melaksankan lembaga Peradilannya.
Walaupun dalam sejarah islam tidak ada lembaga seperti di Indonesia, tapi bukan berarti system yang digunakan oleh Indonesia ini tidak sesuai dengan prinsip islam yang mengedepankan keadilan bagi semua umat, dan bukan tidak mempunyai dasar jika dilakukan Banding. Dalam hadist dibawa ini jika kita cermati maka akan sesuai dengan system Peradilan kita. Yang mana Peradilan merupakan sebuah media dimana seorang yang berperkara dapat menemukan hak-haknya, maka Peradilan harus berupaya se ideal mungkin untuk menegakan keadilan, dan karena hakim juga manusia maka tidak menutup kemungkinan untuk salah dan berlaku diskriminatif terhadap siberperkara. Dengan demikian untuk menghilangkan itu semua Indonesia memperbolehkan bagi kedua orang yang berperkara untuk melakukan Banding atau Kasasi guna mempertahankan haknya.

Nabi sendiri bersabda tentang kelemahan sipenegak hukum dalam hadistnya Nabi bersabda:
حَدَثَنِيْ حَرْمَلَةَ بِنْ يَحْيَ اَخْبَرَنَا عَبْدُ اللهِ بِنُ وَهَبٍ. اَخْبَرَنِيْ عَنْ يُوْنُسٍ عَنْ اِبْنُ شِهَابٍ اَخْبَرَنِيْ عَنْ عُرْوَةَ بِنْ الزَبِيْرٍ عَنْ زَيْنب بنت ابي سلمة عن ام سلمة زوج النبي صلي الله عليه و سلام ان رسول الله عليه وسلام سمع جلبت خصم بباب حجرته فخرج اليهم فقال(( انما انا بشر . وانه يآتني الخصم , فلعل بعضهم ان يكون ابلغ من بعض.فاحسب انه صا د ق فاقصي له , فمن قضيت له بحق مسلم , فانما هي قطعة من النار. فليحملها او يذرها))
Artinya: Sesunggunya saya adalah manusia biasa, yang juga akan datang padaku pertikaian, siapa tahu sebagian dari mereka ada yang lebih tahu dari sebagian yang lain, kemudian saya mengira bahawa dia benar, maka barang siapa yang saya putuskan perkaranya diatas hak orang muslim maka keputusan itu keputusan dari neraka, ambilah atau tinggalkan keputusan seperti itu.

Hadist yang mempunyai maksud yang sama tapi beda lafath mengatakan:
حدثنا يحي بن يحي التميمي . اخبرنا ابو معاوية عن هشام بن عروة عن ابيه عن زينب ابي سلمة عن ام سلمة
قالت قال رسول الله صلي الله عليه وسلم " انكم تختصمون الي ولعي بعضكم ان يكون الحان بحجته من بعض فاقضي له علي نحو مما اسمع منه ومن قطعت له من حق اخيه شيئا فلا يآخذه. فانما اقطع له به قطعة من النار"

Artinya : Sesunggunya kamu berseteru menghadap kepadaku, barangkali sebagian dari kamu lebih benar sebab kehujahannya, kemudian saya memutuskan dengan apa yang saya dengar darinya. Dan barang siapa yang telah saya putuskan diatas hak saudaranya, maka janganlah kamu menganmbilnya, karena sesuatu yang saya putuskan itu merupakan keputusan dari neraka.
Komentar tentang lafath hadis diatas
 انما انا بشر: bahawa Nabi mengingatkan bahwa seorang tidak dapat melihat sesuatu yang tidak tampak oleh mata, kecuali oleh Allah di beri keistimewaan untuk melihat sesuatu yang tidak tampak. Dan diperbolehkan menggunakan kekususan itu untuk menegakkan hukum dalam memutuskan perkara. Sedangkam seorang hakim hanya dituntut untuk menghukumi yang tampak saja menurutnya, dan memperkuat dengan sumpah untuk menguatkan putusanya jika dirasa salah satu dari orang si berperkara berbohong atau mengatakan kepalsuan.
 :فمن قضيت له بحق مسل Maksudnya adalah bukan menjaga hak orang muslim dari orang kafir, karena harta benda kafir dzimi, kafir mu’ahad, dan orang yang murtad adalah sama dalam mendapatkan hak dimata hukum.
 :فانما اقطع له به قطعة من النار jika seorang menghakimi melihat yang tampak saja kemudian keputusanya bertolak belakang dengan dengan dengan sesunggunya maka keputusan itu akan membawanya kepada api neraka.
 : فليحملها او يذرهاkalimah ini adalah bukan berma’na Takhyir, akan tetapi berma’na Tahdid (menakuti) dan Waid (menasehati) sebagaman kalimah
فمن شاء فاليمؤمن ومن شاء فاليكفر .

Hadist ini dikemukakan oleh Nabi SAW. saat Nabi berada dirumah. Dan kemudian Nabi mendengar suara gadu di dekat rumah Nabi, tepatnya didepan pintu kamar beliau, kemudian Nabi keluar untuk mendamaikan kedunya, mereka semua mengungkapkan argumennya kepada Nabi untuk meminta kepastian hukum, dan Nabi pun menghukumi kedunya lalu Nabi mengutarakan hadist diatas, Nabi mengharap tidak ada diskriminasi antara yang kaya dengan yang miskin, si Beragama islam dan si Beragama selain islam. Semua mepunyai hak yang sama di mata hukum. Tidak ada pembeda anatra satu dengan yang lain.
Dan Nabi pada hadist ini mengakui atau mengajarkan tentang kelemahan seorang dalam menghukumi siberperkara, bahwa ada kemungkinan seorang hakim melakukan kesalahan dalam memutuskan perakara, bahkan Nabi sekalipun akan melakukan kesalahan sebagaiman sabda beliau “ jika seorang saya putuskan perkaranya diatas hak orang lain maka keputusan itu adalah keputusan dari neraka”. akan tetapi dalam perkara yang timbul pada Nabi saat itu, Nabi tidak salah memutuskan keputusannya, melainkan sabda beliau tersebut mengingatkan kita bahwa seorang hakim pasti mempunyai kesalahan, oleh karenanya wajar sekali jika seorang berperkara kurang puas terhadap keputusan yang di putuskan hakim jika kebenranya tidak dianggap.
Dalam sohih muslim hadis ini dibawa judul Al-Hukmu Bidhoher Wal Lahnu Bil Hujati ya’ni Hukum memutuskan perkara sebagaiman yang di ungkapkan para pihak. Sedangkan dalam Bughori Muslim terdapat pada Babu Man Qudiyah Bihaqi Akhihi Fala Ya’khudu. Yakni barang sipa yang memutuskan perkara diatas hak saudaranya maka jangan menirunya. Nabi menggambarkan dalam hadist ini andai saja keputusan Nabi atas dasar pandangan dhoher dan hanya memperhatikan petunjuk yang diutarakan saja, maka hal tersebut salah dan jangan pernah diikuti.
Selain itu isyarat yang dikatakan oleh sahabat Ali bin Abi Tholib ketika diajukan kepadnya suatu perkara diyaman, iya berkata:

اَقْضِيْ بَيْنَكُمْ فَاِنْ رَضِيْتُمْ فَهُوَ الْقَضَاءُ وَاِلَا حَجَزْتَ بَعْضَكُمْ عَنْ بَعْضٍ حَتَي تَأْ تُوْا رَسُوْلَ اللهِ لِيَقْضِيَ بَيْنَكُمْ

Artinya.:“Aku akan memutusakan hukum (perkara) diantara kamu, maka jika kamu rela (menerimnya putusan itu) maka itulah putusan(nya), dan jika ternyata kamu tidak mau menerima, maka aku mencegah sebagian kamu (berbuat apa-apa) terhadap sebagian yang yang lain, sempai kamu datang kepada Rasulallah saw agar mengadili diantara kamu”
Kemudian setelah Ali mengadili mereka dan memutusakan hukum perkara yang mereka sengketakan, maka mereka tidak mau menerima putusan tersebut, dan pergilah mereka kepada Rasulallah saw, pada musim haji mereka mengajukan perkara mereka kepad Rasulallah saw, serta mereka pun menerangkan, bahwa Ali telah memberikan putusan hukum kepada mereka, tapi putusan itu tidak tepat dalam pandangan mereka, dan setelah Rasulallah saw . medengar keterngan mereka maka beliau membenarakan Ali dan beliau bersabda:

هُوماَ قَضَي بَيْنَكُم

Artinya:“ apa yang telah di putuskan Ali diantara kamu, itulah putusanya”

Perkara yang sepadan secara implisit bisa kita ketemukan pada masa Umar. Pada masa kholifah Umar adalah dikenal dengan masa keemasan pertama setelah Nabi SAW meninggal, beliau dapat memperluas ekpansi daerah Negara islam sampai kebebrapa daerah seperti Kufah, Basrah dan Mesir. Kemudian pada Negara atau daerah masyarakatnya banyak menemukan perkara-perkara, kemudian beliu mengutus seorang hakim disetiap daerah yang berada pada naungan islam ini. Beliau mengankat Syuraih sebagai hakim di daerah kufah, Qais bin Al-as as-sahmi untuk daerah mesir, dan mengankat Abu Musa Al-As’ary sebagai hakim di Basroh. Semua hakim ini di pilih oleh saidina Umar atas dasar keahlinya, seperti Syuraih diangkat karena Umar mengetahui keahlinya, hal ini Umar mengetahui sendiri ketika Syuraih memutuskan perkara antara Umar sendiri dan salah seorang yang menjual seekor kuda, ketika dicoba kuda itu oleh umar, kuda itu kehabisan tenaga sehingga Umar pun mengurungkan niatnya untuk mebeli, akan tetapi sipenjual tidak setuju dengan pengembalian itu, dan kemudian Umar pun berkata “ kalau begitu harus ada orang yang menengahi kita” kemudian penjual tadi menunjuk Syuraih, kemudian Syuraih berkata “amirulmu’minin, ambillah yang suadah anda beli, atau kembalikan seperti waktu anada ambil. Dan pada suatu hari setelah Umar mengangkat Abu Musa al-As’ary beliau mengirim sebuah surat dalam potongan surat itu berisi “ suatu perkara yang sudah anda putuskan kemarin, dan dengan kesadaran batinmu hari ini hati nuranimu hendak mengadakan peninjauan kembali, jangan segan untuk kembali kepada kebenaran. Kebenaran itu azali, dan mengoreksi kembali untuk suatu kebenran lebih baik daripada terus-menerus hanyut dalam kesalahan”. Ini menunjukan bahwa sehebat apapun seorang hakim sebagai penegak hukum dimungkinkan salah.

C. Kajian Undang-Undang.
Melihat sejarah dan melihat apa yang disabdakan oleh Nabi peristiwa Ali dan Umar adalah menguatkan kita akan perlunya Banding dalam pengadilan agama, Pasalnaya konteks peninjau kembali yang digariskan oleh Nabi dan Umar terhadap hakim tidak akan pernah terjadi lagi dierah saat ini, jalan keluarnya adalah dengan cara Banding. Keluar dari ketidak adilan jika dilakukan Banding. Banding adalah hak para sipengaju perkara atas ketidak adilan hakim tingkat pertama. Seandainya saja hakim sekarang menggunakan metode yang diungkapkan Umar, maka Peradilan dinegara ini akan dianggap tidak berwibawa, dan hakimnya dianggap tidak ahli. Kalau sudah seperti itu maka masyarakat akan tidak percaya dan tidak mau lagi berperkara di pengadilan karena kepercayaanya terhadap pengadilan sudah menurun untuk meneyelesaikan perkaranya. Hemat penulis anatara Banding dan peninjauan kembali pada Peradilan islam adalah bertujuan sama ya’ni mencari kebenaran, bedanya kalau masa Umar dengan satu hakim dan lembaga yang sama, akan tetapi sekarang dua hakim dan lembaga yang lebih tinggi dan hasil yang dicari sama yakni keadilan yang tidak dilaksanakan pada peradialan pertama.
Dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman dinyatakan bahwa “terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan Banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak bersangkutan” , kecuali Undang-Undang menyatakan lain. Sebagaiman diatur organic dari Pasal 21 ayat diatas, kususnya untuk Peradilan Agama , ketentuan mengenai putusan pengadilan Agama yang disebutkan dalam Pasal 61 Unadang-Uandang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No 3 tahun 2006 tentang Peradilan agama Yaitu “ atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan Banding oleh yang berperkara , kecuali apabila Undang menentukan lain”.
Berlaku adil sebgaimana lamabang Peradilan yang disimbolkan dengan patung memgang neraca yang kedua piringnya berkedudukan sama adalah atribut yang melekat pada diri hakim sebagai pejabat Negara yang ditugasi untuk menegakan hukum dan keadilan. Namun demikian hakim adalah insan biasa yang tidak terlepas dari kekhilafan dan kesalahan , meskipun ia berusaha menghindar dari kesalahan dan kehilafan tersebut. Karena itu dalam pelaksanaannya, tidak semua putusan yang dijatuhkan terhadap perkara-perkara yang diajukan kepadanya mutlak adil dan benar , tetapi masih terbuka kemungkinan ada orang merasa bahawa putusan yang dijatuhkan oleh hakim terhadap perkara yang diajukan pihak berperkara tidak memenuhi rasa kedailan. Atas pemikiran itulah kiranya dalam dunia peradian perlu adanya pengadilan tinggi agama dan mahkama agung sebaggai lembaga Peradilan yang diamaksud untuk mengadakan koreksi terhadap putusan hakim Peradilan bawahanya yang dikira tidak adil atau tidak sesuai dengan hukum yang berlaku.
D. Prosedural Banding
Sebagaimana kita ketahui Banding merupakan proses pengadilan tingkat kedua yang bertujuan agar si pengaju Banding dapat memenuhi haknya yang tidak didapat dalam Peradilan tingkat pertama. Akan tetapi tak semua perkara bisa diajukan Banding. Pengecualian ini sebagaimana terdapat dua kategori . Pertama perkara yang bersifat pinansial sebagaimana diatu dalam Pasal 49 huruf I Unadng-Undang Nomor 3 tahun 2006 tetang perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tetang Peradilan Agama menganai ekonomi Syariah , maka perakara yang dapat diajukan Banding mengacu kepada setandart obyek tarperkara sebagaimana dlatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 20 Tahun. 1989 tentang Peradilan ulang dijawa dan Madura yaitu tidak kurang dari seratus rupiah. Kategori Kedua Adalah perkara yang dapat dilakukan Banding adalah perkara contentiosa, bukan voluntair. Jadi keputusan yang diformulasikan dalam bentuk penetapan tidak dapat diajukan Banding. Perkara dipangdilan Agama yang dikategorikan voluntair adalah.
1. Penetpan Ahli Waris (penjelasan Pasal 49 huruf d Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tetang atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
2. Dispensasi Kawin (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974).
3. Izin Kawin ( Pasal 6 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam).
4. Permohonnan Penetapan Wali Adhol (Pasal 23 ayat 1dan ayat 2 kompilasi hukum islam jo.peraturan menteri agama nomor 2 tahun 1987).
5. Permohonan Penetapan Perkawinan (Pasal 50 s.d. 54 Undang-Undang nomor 1 tahun 1975 Pasal 107 s.d. 112 Kompilasi Humum Islam)
6. Penetapan Asal Usul Anak (Pasal 55 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 103 Kompilasi Hukum Islam).
Dengan demikian selain perkara yang diatur dalam perkara diatas di perbolehkan untuk mengajukan banding di peradilan Tingkat Tinggi Agama.

E. Tata Cara Banding dan Dasar Hukum.
Dalam buku Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Gemala Dewi mengatakan, bahwa tata cara Banding Berdasar pasal 7-15 Undang-Unadang No. 20 Tahun 1947 tetang Peradilan ulang jawa dan Madura, Maka tata cara permohonan Banding adalah:
a. Tegang waktu permohonan Banding:
1. 14 hari setelah putusan ucapan, apabila waktu putusan ucapan permohon Banding hadir sendiri di persidangan atau..
2. 14 hari sejak putusan diberitahukan apabila pemohon Banding tidak ahdir pada putusan diucapkan dipersidangan.
3. Jika prodeo, terhitung 14 hari dari tanggal pemberitahuan putusan dari pengadilan tinggi pada pemohon Banding (Pasal 7 ayat 3).
b. Permohonnan Banding disampaikan kepada panitra pengadilan yang memutuskan perkara Pengadilan Agama yang hendak diBanding.
c. Yang berhak mengajukan : 1) pihak beperkara.
2) kuasa setelah mendapat kuasa khusus.
d. Bentuk permintaan Banding: 1) dengan lisan
2) secara tertulis
e. biaya Banding di mintakan kepada pemohon bukan pada pihak termohon.
f. penitra petugas :
1. meregistrasi (mendaftar) permohonan.
2. membuat akta Banding.
3. melampirkan akta Banding dalam berkas perkara sebagai bukti dari PAT.
g. juru sita menyampaikan pemberitahuan Banding kepada pihak lawan.
h. penyampaian pemberitahuan (inzage) oleh juru sita:
1. selambat-lambat dalam tempo 14 hari dari tanggal permohonan Banding.
2. pemberitahuan (inzege) disampaikan kepada kedua belah pihak yang berperkara.
i. penyampain memori Banding:
Memori Banding bukan syarat formal, seperti ditegaskan dalam putusan MA tanggal 14 Agustus Tahun 1957 No. 143K/Sip/ 1956.
1). Tenggang waktu mengajukan waktu Banding tidak terbatas.
2). Harus memberi tahu dengan relas adanya memori Banding kepada pihak lawan.
3). Harus memberitahu adanya kontra memori Banding kepada pemohon Banding.
Memori Banding, kontra memori Banding dan relas pemberitahuan dilampirakan dalm berkas perkara.
j. satu bulan sejak permohonan Banding, berkas perkara harus dikirim kePengadilan Tinggi (pasal 11 ayat 2 Undang-undang tahun 1947).

F. Pemeriksaan Tingkat Banding.
Pemeriksaan tingkat Banding adalah bagaimana proses yang dilakukan oleh peradilan tingkat tinggi, dalam hal ini :
a. Harus dilakukan berdasar perkara:
Pemeriksaan tingkat Banding dilakukan melalui berita acara pemeriksaan pengadilan tingkat pertama, yaitu “ berdasar berkas perkara”.
b. Apabila dianggap perlu dapat dilakukan pemeriksaan tambahan melalui proses:
1. Pemeriksaan tambahan berdasar sela, sebelum menjatuhkan putusan akhir atau putusan ditangguhkan menunggu hasil pemeriksaan tambahan.
2. Pemeriksaan tambahan dapat dialukan sendiri oleh pengadilan tinggi agama (PTA).
3. Pelaksanaan pemeriksaan tambahan diperintahkan kepada pengadilan yang semula memeriksa dan memutus pada tingakat pertama.
4. Pemeriksaan tingkat Banding dilakukan dengan majelis: pasal 11 ayat 1 lembaran Negara No. 36 Tahun 1955, di pertegas dalam pasal 15 Undang-Undang No. 14 tahun 1970.
Putusan pengadilan Agama yang dapat diBanding ialah putusan akhir yang sudah mengakhiri sengketa secara keseluruan. Dengan demikian perkara yang belum tuntas di putuskan oleh pengadilan petama tidak boleh diajukan banding.

F. Penutup.
Dalam islam memang kita sering mendengar bahwa “keputusan hakim terdahulu tidak dapat di ubah dengan keputusan hakim baru kecuali keputusan itu menyalahi nash, ijma’ dan Qiyas” tapi hal ini bukan mengindikasikan bahwa seorang tidak boleh mengajukan banding untuk mendapatkan haknya. Semua orang mempunyai hak keadialn dimata hukum. Walau nanti setelah di jatuhkan keputusan banding orang yang asalnaya menerima hukuman berat menjadi ringan. Namun bukan berarti keputusan-keputusan seperti itu tidak dilandaskan kepada UU. Keluar dari konteks suap atau subyekipitas seorang hakim seorang hakim dituntut untuk adil dalam semua keputusanya. Jika saja hakim sudah memberlakukan UU dan berlaku adil hemat penulis tidak ada pengaruh tentang dilakukan banding atau tidak dalam ranah keadilan nabi. Toh Nabi, Ali dan umar memberlakukan system banding dalam menangani kasus perdilan dimasa silam. Dari historis itulah bisa menjadi dasar pijakan diperbolehkanya permohonan banding bagi setiap manusia sebagai subyek hokum naupun Obyek hokum. Kiaranya hanya Allah yang tahu tentang kebenaran itu dan maha mengadili ketidak adalilan di bumi pertiwi ini.
Daftar Pustaka
1. Harahap Yahya, Kedudukan Dan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini, Jakarta.
2. Asadullah Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam cet. Pustaka Yustisia, jogja.
3. Abi Al-Husain Muslim bin Al-Hijaj Al-Qusyairi An-Nasaburi. Shoheh Muslim, Darul Kutub jilid 6. Zuz 12
4. Salam Mazkur, Muhammad. PT. Bina Ilmu. Suarabaya.
5. Haekal, Muhammad Muslim. Umar bin Khatab. Lentera AntarNusa, Jakarta
6. Drs. H. Chatib Rasyid, SH., MH dan Drs. Syaifuddin, SH,. M. HUM. Hukum Acara Peradta Dalam Teori dan Praktek Pada Peradilan Agama. UII Pres. Yogyakarta.
7. Hj. Sulaikin Lubis, SH.,MH, Hj. Wismar ‘Ain Marzuki, SH. Gemala Dewi, SH,. LL.M Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Kencana Jakarta.
Minggu, 15 April 2012 by anak baru GEDE
Pembatalan putusan atau dalam bahasa Arab disebut dengan naqdh al qadha’ terdiri dari dua kata yaitu naqdh dan al qadha’ yang akan dijelaskan di bawah ini.
Secara etimologi, al qadha’ yang memiliki bentuk plural al qudhah yang berarti al hukm wa al ada’ (hukum dan penyampaian). Sehingga kiranya tepat seorang yang memutuskan dan memberi hukum terhadap suatu perkara disebut dengan al qadhi atau al hakim.
Ulama lain mendefinisikannya dengan al faragh yang berarti putus, selesai. Seperti firman Allah dalam Q.S. al Ahzab: 37 berikut.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid putuskan kehendak daripada Zainab itu, Kami kawinkan dia kepadamu.....”
Imam madzhab memberikan definisi yang berbeda terkait dengan istilah al Qadha’ namun pada dasarnya semuanya hampir sama. Golongan Hanafiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya dengan فصل الخصومات وقطع النزعات على وجه مخصوص (melerai permusuhan dan memutus pertikaian dengan cara-cara tertentu). Sedangkan Hanafiyah mengartikannya dengan الإخبار عن حكم شرعي على سبيل الإلزام (memberitahukan hukum syara’ dengan jalan mengharuskan). Dan menurut Syafi’iyyah al Qadha’ ialah فصل الخصومة بين خصمين فأكثر بحكم الله تعالى (menyelesaikan permusuhan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al qadha’ adalah keputusan yang dikeluarkan oleh hakim terhadap suatu kasus yang didasarkan atas asas keadilan demi menciptakan kedamaian dalam hidup dan supaya hak tiap-tiap individu dapat dilindungi.
Sedangkan Naqdh al qadha’ (pembatalan keputusan) sebagaimana terdapat dalam al Mu’jam al Wasith ialah
نقض الحكم : إبطاله إذا كان قد صدر مبنيا على خطأ في تطبيق القانون أو تأويله
“Pembatalan hukum karena di saat memutuskannya menggunakan argumen dan dalil yang salah ....”
Tak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan. Termasuk juga hakim. Seorang hakim terkadang melakukan kesalahan dalam memutuskan suatu perkara. Ada berbagai faktor penyebab terjadinya kesalahan itu. Untuk mengatasi problem tersebut, maka dilakukanlah pembatalan keputusan dan kemudian menggantinya dengan keputusan baru yang diharapkan lebih adil, mengena sasaran dan tentunya sesuai dengan hukum Allah yang tertuang dalam al Qur’an dan Hadits. Pembatalan keputusan ini dilakukan di pengadilan tingkat banding (Mahkamah ‘Ulya).

C. Macam Pembatalan Putusan
Tidak semua keputusan hakim bisa dibatalkan begitu saja, namun ada kriteria khusus yang harus dipenuhi supaya suatu keputusan bisa dibatalkan. Berikut ini beberapa pendapat ulama mengenai pembatalan putusan hakim sebagaimana disebutkan dalam buku Peradilan dalam Islam:
1. Ibnu Quddamah
Menurutnya putusan seseorang hakim dapat dibatalkan apabila menyalahi ketentuan dalam nash Qur’an, Sunnah atau ijma’. Kemudian Imam Ahmad dan Imam Syafi’i menambahkan lagi tentang putusan yang menyalahi nash yang jelas (jaliy).
2. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
Pendapat kedua ini mengatakan bahwa putusan tidak boleh dibatalkan kecuali apabila menyalahi ijma’, sebab nash-nash yang dalalahnya dhanniyah adalah merupakan lapangan ijtihad sehingga putusan semacam itu tidak boleh dibatalkan sebagaimana perkara yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash.
3. Abu Tsaur dan Dawud
Mereka berpendapat bahwa semua putusan hakim yang tampak adanya kesalahan boleh dibatalkan, karena kesalahan itu wajib dibenarkan dan Umar bin Khatthab pernah berkata,
“Janganlah menghalang-halangi kamu, suatu putusan yang telah engkau jatuhkan di waktu lalu, untuk kamu tinjau kembali demi mencari kebenaran.”
Ibnu Abidin telah mencatat dalam kitab Al Asybah, “ Dan apabila hakim telah memutus perkara berdasarkan hasil ijtihad, maka putusannya itu, kecuali dalam masalah-masalah yang telah ada ketentuan hukumnya di dalam nash, maka putusannya (yang menyalahi nash tersebut) tidak boleh dilaksanakan dan harus dibatalkan.
Apabila hakim berijtihad mencari hukumnya suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya, kemudian sampailah ia pada suatu pendapat tentang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi pendapat yang baru sebelum putusan dijatuhkan, maka dalam keadaan yang demikian, ia harus memutus atas dasar pendapat yang baru, dan ia tidak boleh memutus berdasar pendapatnya yang pertama, karena dengan adanya pendapatnya yang baru itu berarti pendapatnya yang pertama telah batal menurut pandangannya. Adapun jika munculnya pendapat yang baru itu setelah putusan dijatuhkan, maka untuk memutuskan perkara yang lain yang sejenis ia boleh saja mengambil pendapatnya yang pertama, dan dalam hal ini Umar bin Khatthab pernah berkata,
تلك على ما قضينا وهذا على ما نقضي به اليوم
“Itu putusan yang telah kami jatuhkan (di masa lalu), dan inilah putusan yang kami jatuhkan hari ini.”
Sedangkan institusi yang boleh melakukan koreksi terhadap suatu putusan ada dua macam yaitu pengadilan yang mengeluarkan keputusan itu dan pengadilan lain yang lebih tinggi tingkatannya dalam hal ini disebut pengadilan banding sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.
Kamis, 22 Maret 2012 by anak baru GEDE
Syariat Islam yang diperjelas dengan fikih sudah mengatur permasalahan
hukum yang cukup detail. Aturan-aturan ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat
Islam di dalam menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan
masalah hukum. Namun, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama
mengenai kepastian aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak
bisa diselesaikan dengan tuntas.
Munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkan sumber atau landasan
hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk
syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi
hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat
٩
setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau
negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undangundang
untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masing-masing. Hal
seperti ini juga terjadi di negara kita Indonesia.
Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa
hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum
Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara
normatif (Mohammad Daud ali, 1991: 75). Hukum Islam yang berlaku secara formal
yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain
dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut
dengan istilah mu’amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk
oleh peraturan perundang-undangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis
ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara
sempurna dengan cara misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu
unsur dalam sistem peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara
normatif adalah hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan.
Pelaksanaannya bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim
dalam berpegang kepada hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam
seperti ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya.
Hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
dalam arti ibadah murni (‘ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam
ini, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif ini
tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri.
Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah
Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti Undang-undang No.
١٠
5 Tahun 1946, PP. No, 45Tahun 1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang
No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, dan Undang-undang
No. 7 Tahun 1989. Dengan undang-undang seperti ini diharapkan permasalahan yang
berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan
secara formal yuridis. Dari beberapa undang-undang tersebut dapat dipahami bahwa
permasalahan hukum Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan
melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah
perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan.
Dalam perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami
berbagai persoalan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan
eksistensi Peradilan Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru
tahun 1989, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (UUPA), eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi
harapan umat Islam Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan
kewenangannya.
Pengesahan UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia.
Dengan disahkannya UUPA tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama
sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air
kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara
di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif
di negara kita.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam
bidang muamalah (keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara
formal yuridis telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya
telah pula dimantapkan eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari sistem
١١
peradilan nasional, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dengan UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam
memeiliki landasan hukum yang kuat.
Di negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau
didukung oleh tiga hal, yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan
hukum yang jelas, dan kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan
doktrin hukum nasional yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam (Bustanul
Arifin, 1996: 56).
Lembaga penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama,
terutama hakim-hakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki
ijazah kesarjanaan baik sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan
persyaratan seperti ini diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan
hukum yang jelas, belum dijamin keberadaannya secara total, karena peraturanperaturan
hukum Islam (fikih) masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat,
sehingga sangat sulit untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam. Oleh karena itu,
keperluan akan adanya suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal
yang sangat wajar. Di sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hukum
Islam menjadi jelas dan terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat
dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama
Indonesia kemudian membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab
hukum, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini
kemudian diresmikan berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 (Abdurrahman, 1992: 50).
١٢
Namun, harus diakui bahwa perkara-perkara yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan.
Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan
kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok
dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung
dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin
banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak
adanya penanganan yang jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi
terhadap tindakan kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah
pidana ini masih berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di
Pengadilan Negeri masih aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang
kurang sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini
ditetapkan di Indonesia sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan
melibatkan Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan
dan wewenang Peradilan Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi
hukum Islam juga semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia.
Karena kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam
di negara kita, yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu
adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran
hukum ini, akan sulit bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai
institusi penegak keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung
jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Dalam rangka inilah
pembinaan organisasi, administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama
haruslah diusahakan dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini
١٣
benar-benar mantap nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh
Departemen Agama sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di
Indonesia.
Senin, 19 Maret 2012 by anak baru GEDE
Banding adalah sebuah upaya hukum yang dilakukan oleh terdakwa supaya putusan yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi, karena belum puas dengan keputusan tingkat pertama, sedangkan lembaga banding adalah institusi yang berwenang mengurusi masalah tersebut.
Berdasarkan prinsip adanya berperkara pada tingkat dua atau banding, maka perkara yang telah mendapatkan putusan hukum dari pengadilan tingkat pertama dapat diajukan pada pengadilan lain yang lebih tinggi (naik banding) untuk mendapatkan hukum yang baru.
Pengadilan tingkat kedua ini mempunyai kebebasan untuk menguatkan keputusan hukum pada pengadilan tingkat pertama, mengganti, atau membatalkannya. Dasar semacam ini telah dikenal luas dalam semua tata perundang-undangan positif karena adanya manfaat penting yang didapatkan.
Salah satu manfaat yang diperoleh dengan adanya pengadilan tingkat kedua ini adalah dapat mendorong hakim untuk berhati-hati dan berusaha dengan sungguh-sungguh dalam meneliti kasus yang ditanganinya karena dia mengetahui bahwa keputusan hukumnya dapat ditampakkan atau diajukan lagi pada lain kesempatan. Hal ini mendorong hakim untuk berijtihad dan meneliti secara mendetail agar keputusan hukumnya tidak diganti atau dibatalkan, seperti munculnya upaya banding dikarenakan adanya kesalahan hakim pengadilan tingkat pertama atau mengajukan kasus yang tidak tepat.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer merupakan pengadilan tingkat pertama sedangkan Pengadilan Tinggi Negeri, Pengadilan Tinggi Agama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, dan Pengadilan Militer Tinggi merupakan pengadilan tingkat banding. Dengan demikian upaya banding terhadap suatu perkara harus sesuai dengan wilayah kompetensinya, sebagai contoh perkara di PA hanya dapat diajukan ke PTA, bukan ke PTN atau pengadilan yang lainnya.
Sabtu, 25 Februari 2012 by anak baru GEDE
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Peradilan diciptakan untuk menegakkan keadilan. Salah satu perangkat pengadilan yang sangat urgen adalah hakim. Sebab tanpa hakim proses pemutusan perkara di pengadilan tidak akan pernah berjalan dengan baik serta lancar. Dan tentunya hal itu akan berdampak ke yang lainnya. Keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh hakim sering kali benar namun juga tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan. Baik karena faktor internal maupun eksternal. Untuk mengatasi permasalahan itu dan supaya tidak ada pihak yang merasa dirugikan, maka dilakukan suatu pembatalan hukum. Dalam Islam ada dua pihak yang berwenang membatalkan keputusan, yaitu hakim yang memutuskan perkara dan hakim yang mengoreksi perkara tersebut. Pembatalan hukum ini terkadang pula terjadi karena pihak yang berperkara tidak menerima keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Mereka yang tidak puas ini bisa mengajukan kembali kasusnya ke pengadilan banding. Untuk selanjutnya pengadilan mempelajari pengajuan tersebut dan kemudian memutuskan apakah bisa dilanjutkan ke tingkat banding ataukah tidak. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai lembaga banding dan hal-hal yang terkait dengannya. Semoga makalah yang sangat simpel ini bisa menjadi batu pijakan bagi orang yang ingin memperdalamnya lagi. untuk selebihnya monggo di download klik link di bawah ini  

Total Tayangan Halaman