Pembatalan Putusan

Minggu, 15 April 2012 by: anak baru GEDE

Pembatalan putusan atau dalam bahasa Arab disebut dengan naqdh al qadha’ terdiri dari dua kata yaitu naqdh dan al qadha’ yang akan dijelaskan di bawah ini.
Secara etimologi, al qadha’ yang memiliki bentuk plural al qudhah yang berarti al hukm wa al ada’ (hukum dan penyampaian). Sehingga kiranya tepat seorang yang memutuskan dan memberi hukum terhadap suatu perkara disebut dengan al qadhi atau al hakim.
Ulama lain mendefinisikannya dengan al faragh yang berarti putus, selesai. Seperti firman Allah dalam Q.S. al Ahzab: 37 berikut.
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid putuskan kehendak daripada Zainab itu, Kami kawinkan dia kepadamu.....”
Imam madzhab memberikan definisi yang berbeda terkait dengan istilah al Qadha’ namun pada dasarnya semuanya hampir sama. Golongan Hanafiyah dan Hanbaliyah mendefinisikannya dengan فصل الخصومات وقطع النزعات على وجه مخصوص (melerai permusuhan dan memutus pertikaian dengan cara-cara tertentu). Sedangkan Hanafiyah mengartikannya dengan الإخبار عن حكم شرعي على سبيل الإلزام (memberitahukan hukum syara’ dengan jalan mengharuskan). Dan menurut Syafi’iyyah al Qadha’ ialah فصل الخصومة بين خصمين فأكثر بحكم الله تعالى (menyelesaikan permusuhan di antara dua orang atau lebih dengan hukum Allah).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al qadha’ adalah keputusan yang dikeluarkan oleh hakim terhadap suatu kasus yang didasarkan atas asas keadilan demi menciptakan kedamaian dalam hidup dan supaya hak tiap-tiap individu dapat dilindungi.
Sedangkan Naqdh al qadha’ (pembatalan keputusan) sebagaimana terdapat dalam al Mu’jam al Wasith ialah
نقض الحكم : إبطاله إذا كان قد صدر مبنيا على خطأ في تطبيق القانون أو تأويله
“Pembatalan hukum karena di saat memutuskannya menggunakan argumen dan dalil yang salah ....”
Tak ada manusia yang luput dari dosa dan kesalahan. Termasuk juga hakim. Seorang hakim terkadang melakukan kesalahan dalam memutuskan suatu perkara. Ada berbagai faktor penyebab terjadinya kesalahan itu. Untuk mengatasi problem tersebut, maka dilakukanlah pembatalan keputusan dan kemudian menggantinya dengan keputusan baru yang diharapkan lebih adil, mengena sasaran dan tentunya sesuai dengan hukum Allah yang tertuang dalam al Qur’an dan Hadits. Pembatalan keputusan ini dilakukan di pengadilan tingkat banding (Mahkamah ‘Ulya).

C. Macam Pembatalan Putusan
Tidak semua keputusan hakim bisa dibatalkan begitu saja, namun ada kriteria khusus yang harus dipenuhi supaya suatu keputusan bisa dibatalkan. Berikut ini beberapa pendapat ulama mengenai pembatalan putusan hakim sebagaimana disebutkan dalam buku Peradilan dalam Islam:
1. Ibnu Quddamah
Menurutnya putusan seseorang hakim dapat dibatalkan apabila menyalahi ketentuan dalam nash Qur’an, Sunnah atau ijma’. Kemudian Imam Ahmad dan Imam Syafi’i menambahkan lagi tentang putusan yang menyalahi nash yang jelas (jaliy).
2. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah
Pendapat kedua ini mengatakan bahwa putusan tidak boleh dibatalkan kecuali apabila menyalahi ijma’, sebab nash-nash yang dalalahnya dhanniyah adalah merupakan lapangan ijtihad sehingga putusan semacam itu tidak boleh dibatalkan sebagaimana perkara yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash.
3. Abu Tsaur dan Dawud
Mereka berpendapat bahwa semua putusan hakim yang tampak adanya kesalahan boleh dibatalkan, karena kesalahan itu wajib dibenarkan dan Umar bin Khatthab pernah berkata,
“Janganlah menghalang-halangi kamu, suatu putusan yang telah engkau jatuhkan di waktu lalu, untuk kamu tinjau kembali demi mencari kebenaran.”
Ibnu Abidin telah mencatat dalam kitab Al Asybah, “ Dan apabila hakim telah memutus perkara berdasarkan hasil ijtihad, maka putusannya itu, kecuali dalam masalah-masalah yang telah ada ketentuan hukumnya di dalam nash, maka putusannya (yang menyalahi nash tersebut) tidak boleh dilaksanakan dan harus dibatalkan.
Apabila hakim berijtihad mencari hukumnya suatu kasus yang belum ada ketentuan hukumnya, kemudian sampailah ia pada suatu pendapat tentang kedudukan hukumnya, lalu muncul lagi pendapat yang baru sebelum putusan dijatuhkan, maka dalam keadaan yang demikian, ia harus memutus atas dasar pendapat yang baru, dan ia tidak boleh memutus berdasar pendapatnya yang pertama, karena dengan adanya pendapatnya yang baru itu berarti pendapatnya yang pertama telah batal menurut pandangannya. Adapun jika munculnya pendapat yang baru itu setelah putusan dijatuhkan, maka untuk memutuskan perkara yang lain yang sejenis ia boleh saja mengambil pendapatnya yang pertama, dan dalam hal ini Umar bin Khatthab pernah berkata,
تلك على ما قضينا وهذا على ما نقضي به اليوم
“Itu putusan yang telah kami jatuhkan (di masa lalu), dan inilah putusan yang kami jatuhkan hari ini.”
Sedangkan institusi yang boleh melakukan koreksi terhadap suatu putusan ada dua macam yaitu pengadilan yang mengeluarkan keputusan itu dan pengadilan lain yang lebih tinggi tingkatannya dalam hal ini disebut pengadilan banding sebagaimana telah dijelaskan pada subbab sebelumnya.

Filed under: