Sejarah Peradilan Agama di Indonesia

Minggu, 22 April 2012 by: anak baru GEDE

Peradilan Agama dalam bentuknya yang sederhana berupa tahkim (lembaga
penyelesaian sengketa antara orang-orang Islam yang dilakukan oleh para ahli
agama), telah lama ada dalam masyarakat Indonesia, yakni sejak agama Islam masuk
ke Indonesia. Lembaga tahkim ini berkembang seiring dengan perkembangan
masyarakat Muslim di kepulauan nusantara. Keberadaan Peradilan Agama baru diakui
secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1882, yaitu ketika diresmikannya
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 (Amrullah
Ahmad, 1996: 4).
Dengan keberadaan lembaga semisal Peradilan Agama tersebut pemerintah
Belanda merasa bahwa hukum Islam benar-benar telah diberlakukan oleh umat Islam
di Indonesia. Karena itulah, pemerintah Belanda berusaha untuk menghalangi
berlakunya hukum Islam lebih luas lagi. Atas nasehat C. Snouck Hurgronje
pemerintah Belanda memberlakukan teori receptie yang memberlakukan hukum
Islam apabila sudah diterima oleh hukum adat (Mohammad Daud Ali, 1996: 218).
Teori receptie ini diberlakukan dalam rangka menentang berlakunya teori receptio in
complexu yang dikemukakan oleh LWC van den Berg yang mengakui berlakunya
hukum Islam di Indonesia sejak umat Islam ada di situ.
Dengan diberlakukannya teori receptie pemerintah Belanda mulai mengganti
undang-undang yang diberlakukan di Indonesia. Tahun 1919, misalnya, pemerintah
Belanda mengganti undang-undang dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische
Staatsregeling (IS). Tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116 yang membatasi
wewenang Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah
waris diserahkan kepada Pengadilan Umum (Sjadzali, 1991: 46).
Perubahan tatanan peradilan nasional, khususnya Peradilan Agama, mulai
berubah setelah Indonesia merdeka. Perubahan ini bertitik tolak pada ketentuan
konstitusi di samping memperhatikan perkembangan aspirasi dan tatanan masyarakat
secara luas. Dasar yang dijadikan rujukan dalam perubahan itu adalah padal 24 dan 25
UUD 1945. Sedangkan perkembangan aspirasi masyarakat tercermin dalam artikulasi
politik dari berbagai kekuatan politik melalui infra struktur dan supra struktur politik
dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Pembinaan Peradilan Agama yang semula berada di tangan Kementrian
Kehakiman diserahkan kepada Departemen Agama melalui PP No. 5/SD/1946. Tahun
1948 keluar Undang-undang No. 19 yang memasukkan Peradilan Agama ke Peradilan
Umum (Peradilan Negeri). Namun, undang-undang ini tidak pernah berlaku, karena
tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Tahun 1951 pemerintah
memberlakukan Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang tetap
mempertahankan eksistensi Peradilan Agama dan menghapus Peradilan Swapraja dan
Peradilan Adat. Sebagai kelanjutannya pemerintah memberlakukan Undang-undang
No, 45 Tahun 1957 yang mengatur pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan
Kalimantan Selatan. Selanjutnya tahun 1964 keluar Undang-undang No. 19 tentang
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Tahun 1979 Undang-undang No. 19/1964 tersebut
diganti dengan Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mengakui eksistensi Peradilan
Agama sejajar dengan ketiga lembaga peradilan lainnya di Indonesia.
Wewenang Peradilan Agama
Tanggal 29 Desember 1989 terjadi peristiwa penting yang berkenaan dengan
berlakunya sebagian hukum Islam dan penyelenggaraan peradilan Islam di Indonesia.
Peristiwa itu adalah pengesahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
٥
Peradilan Agama. Undang-undang ini merupakan salah satu peraturan perundangundangan
untuk melaksanakan ketentuan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam upaya
mewujudkan suatu tatanan hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undangundang
Dasar 1945. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 ini berangkai dengan
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undnag-undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 terdiri atas 7 bab yang meliputi 108
pasal. Ketujuh bab tersebut berisi Ketentuan Umum (Bab I), Susunan Pengadilan
(Bab II), Kekuasaan Pengadilan (Bab III), Hukum Acara (Bab IV), Ketentuanketentuan
Lain (Bab V), Ketentuan Peralihan (Bab VI), dan Ketentuan Penutup (Bab
VII). Undang-undang ini, sebagai pengganti undang-undang sebelumnya, memuat
beberapa perubahan penting dalam penyelenggaraan Peradilan Islam di Indonesia,
Perubahan-perubahan tersebut di antaranya berkenaan dengan (1) dasar hukum
penyelenggaraan peradilan; (2) kedudukan badan Peradilan; (3) susunan pengadilan;
(4) kedudukan, pengangkatan, dan pemberhentian hakim; (5) kekuasaan pengadilan;
(6) hukum acara peradilan; (7) penyelenggaraan administrasi peradilan; dan (8)
perlindungan terhadap wanita (Cik Hasan Bisri, 1997: 126).
Wewenang Pengadilan Agama ditegaskan dalam pasal 49 ayat (1) Undangundang
Nomor 7 Tahun 1989: “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan
hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah”. Dengan
demikian, jelaslah bahwa wewenang Pengadilan Agama adalah memeriksa, memutus,
٦
dan menyelesaikan permasalahan kaum Muslim dalam bidang-bidang tertentu, yakni
bidang perkawinan dan berbagai hal yang terkait dengannya, bidang kewarisan dan
berbagai hal yang terkait dengannya, serta bidang perwakafan dan berbagai hal yang
terkait dengannya. Ketiga bidang tersebut diperjelas dengan keluarnya Instruksi
Presiden tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang terdiri dari
tiga buku, yaitu: Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku
III tentang Perwakafan.. Menurut ketentuan pasal 49 juga dijelaskan bahwa
wewenang Pengadilan Agama hanya mengadili perkara-perkara tersebut di tingkat
pertama. Adapun pada tingkat banding (yang lebih tinggi) yang menanganinya adalah
Pengadilan Tinggi Agama (pasal 51).
Dalam sejarahnya, wewenang Pengadilan Agama ini tidak begitu saja langsung
menangani perkara-perakara seperti di atas, akan tetapi melalui proses yang cukup
panjang, yaitu mulai tahun 1882 sejak masih berbentuk Priesterrad (Majelis atau
Pengadilan Pendeta) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Perkaraperkara
yang ditangani ditentukan oleh Pengadilan Agama sendiri, yaitu perkaraperkara
yang berkaitan dengan perwalian, kewarisan, hibah, shadaqah, baitulmal, dan
wakaf (Sajuti Thalib, 1980: 25). Jadi, wewenang Pengadilan Agama sudah meliputi
ketiga perkara yang disebut dalam Kompilasi Hukum Islam yang ada sekarang.
Pada tahun 1922 pemerintah Belanda membentuk suatu komisi yang bertugas
meninjau kembali kedudukan dan wewenang Pengadilan Agama. Komisi yang pada
hakekatnya dikuasai penuh oleh Betrand ter Haar ini berhasil melaksanakan tugasnya
dan memberi rekomendasi kepada gubernur jenderal Hindia Belanda untuk meninjau
kembali wewenang Pengadilan Agama. Tujuan Pokok dari saran komisi tersebut
adalah menyangkut wewenang Pengadilan Agama, yakni pencabutan wewenang
Pengadilan Agama untuk mengadili masalah wakaf dan masalah kewarisan.
٧
Pencabutan ini, menurut para pemimpin Islam, merupakan langkah mundur ke zaman
Jahiliyah dan dipandang menentang sendi-sendi iman orang Islam (Mohammad Daud
Ali, 1989: 223).
Pada tahun 1937 keluar Stbl. 1937 No. 116. Dengan Stbl. ini wewenang
Pengadilan Agama untuk mengadili masalah kewarisan dialihkan kepada Pengadilan
Negeri. Dengan demikian, wewenang Pengadilan Agama hanya mengurusi masalah
perkawinan. Sementara itu di Kalimantan Selatan didirikan Kerapatan Qadli dan
Kerapatan Qadli Besar dengan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya persis
seperti Pengadilan Negeri.
Setelah Indonesia merdeka, langkah yang diambil pemerintah Indonesia ialah
menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Departemen Kehakiman kepada
Departemen Agama melalui PP. 5/SD/1946. Tahun 1948 keluar Undang-undang No.
190 yang memasukkan Peradilan Agama ke dalam Peradilan Umum, meskipun hal ini
tidak pernah berjalan. Tahun 1957 pemerintah mengatur pemberntukan Peradilan
Agama di luar Jawa Madura dan Kalimantan Selatan melalui PP. No. 45 Tahun 1957.
Wewenang Peradilan Agama di luar Jawa, Madura, dan Kalimantan Selatan meliputi
perkara-perkara (1) nikah, (2) talak, (3) rujuk, (4) fasakh, (5) nafkah, (6) mas kawin,
(7) tempat kediaman, (8) mut’ah, (9) hadlanah, (10) perkara waris, (11) wakaf, (12)
hibah, (13) sedekah, dan (14) baitulmal (Amrullah ahmad, 1996: 6).
Pada perkembangan selanjutnya, tahun 1958 pemerintah membentuk
Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di berbagai tempat yang
memerlukan. Tahun 1964 pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 19 Tahun
1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang disusul keluarnya Undang-undang
No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Berdasarkan undang-undang ini kedudukan Peradilan Agama setingkat dengan
٨
peradilan-peradilan lainnya. Pada akhirnya, dengan keluarnya Undang-undang No. 7
Tahun 1989 Peradilan Agama benar-benar memiliki legitimasi yang kuat dan benarbenar
sama dan setingkat dengan tiga peradilan lainnya yang ada dalam lingkup
peradilan di Indonesia.
Yang perlu dicatat di sini adalah bahwa wewenang Peradilan Agama baru
terbatas pada perkara-perkara perdata dan hanya menyangkut perkara-perkara umat
Islam. Jadi, Peradilan Agama belum menjangkau perkara-perkara lain di luar perdata,
seperti pidana, dan juga belum melibatkan penganut selain Islam dalam berperkara.

Filed under: